NoBar Film Lima Menara bersama Blogger Bekasi

Setelah nobar film “Sampai ke Ujung Dunia“, hari ini kita rame-rame nonton film Lima Menara. Sebelum nonton lebih dulu asyik ngobrol tentang film yang diangkat dari sebuah novel.
“Kalau kita belum baca novelnya dan nonton filmnya, maka bisa dipastikan mereka akan mengacungkan jempolnya”
“Sebaliknya, bila sudah baca novelnya dan kemudian lihat filmnya, maka biasanya akan banyak protes keluar dari mereka”
“Begitulah sunatullahnya. Saat ada seribu pembaca novel Lima Menara, maka akan tercipta seribu wajah Alif, seribu sekolah Madani dan seribu suasana kamar para santri, namun saat semuanya itu dijadikan sebuah film, maka hanya ada satu wajah Alif, satu sekolah Madani dan satu suasana kamar para santri”
“Sutradara telah memaksa semua pembaca novel untuk melihat perwujudan dari apa yang ada di semua imajinasi para pembaca novelnya”
Perbincangan seru itu akhirnya berhenti ketika waktu sudah menunjukkan jam tayang film. Setelah berebut masuk toilet, mulailah sajian film Lima Menara muncul.
Penonton langsung disuguhi keindahan pemandangan di Sumatera Barat. Kualitas camera, sudut ambil camera dan obyek yang indah membuat pemnonton seperti tersihir masuk dalam alam Minangkabau. Bahasa awal film yang menggunakan dialek Minang membuat suasana terbangkit segera.
Adegan penjualan kerbau sangat menarik, baik dari proses pengambnuilan gambarnya, pesan yang disampaikan dan akting Alif yang begitu pas.
Perjalanan Alif terus bergulir sampai ke tanah Jawa dan film terus mengalir pelan, memberikan detil-detil pesantren, semua nafas kehidupan yang ada dalam pesantren. Yang belum pernah melihat pesantren jadi bisa sedikit membayangkan seperti apa yang disebut pesantren itu.
“Guru di pesantren ini tidak dibayar? Lalu darimana mereka menghidupi dirinya sendiri?”
Pertanyaan Alif itu tetap menjadi pertanyaan sampai di ujung cerita dan sutradara memang membuat pertanyaan itu menggantung dengan melakukan editing yang sangat bagus antara pulangnya ustadz favorit Salman dan jawaban pertanyaan itu.
Adegan sederhana yang cukup menyentuh adalah saat Sang Kiai pimpinan pondok pesantren tidak mau disebut hutang barang, demi memenuhi tuntutan para santrinya. Sebuah contoh risiko demokrasi yang harus dipikul penuh tanggung jawab. Sayang para wakil rakyat kita mungkin kurang tertarik dengan adegan ini (semoga prasangkaku yang salah, astaghfirullah).
Alif memang menjadi tokoh sentral film ini dan aktingnya sungguh patut diacungi jempol, meskipun Alif masih perlu peran lain untuk menunjukkan kemampuan aktingnya. Proses dari sebuah kebencian terhadap sebuah pesantren sampai akhirnya kecintaan akan sebuah pesantren diperankan dengan sangat pas oleh Alif.
Sisipan adegan gadis berjilbab main badminton sebenarnya bagus, demikian juga adegan kekalahan Lim Swie King sangat pas. Adegan lain yang cukup menarik adalah adegan Alif foto bertiga dengan dua gadis cantik. Adegan yang sangat natural dan manusiawi serta membuat penonton terkekeh-kekeh.
Meski begitu, kalau saja sutradara mau mengorbankan adegan bagus itu untuk mengisi pra ending mungkin film ini akan menjadi lebih bagus lagi. Ada gap yang sangat terasa menjelang ending cerita. Penonton belum siap untuk menyaksikan Alif ketika menjadi seorang wartawan sukses.
Ending cerita Lima Menara ini malah kalah menarik dibanding ending film “Sampai ke Ujung Dunia” yang secara keseluruhan masih kalah kelas. Sama-sama ending yang bisa ditebak, tetapi Lima Menara terasa sangat Hollywood banget endingnya. Harus berakhir bahagia !:-)
Meski demikian, film ini masih sangat layak tonton sebagai film keluarga. Kecintaan seorang Ibu dan Ayah pada keluarganya patut untuk ditonton bersama oleh sebuah keluarga yang menginginkan pencerahan dalam keluarganya. Pencerahan tentang pesantren juga diucapkan oleh sang Kiai dengan jelas dan gamblang.
Akhirnya, selamat menonton.
+++
belum sempet nonton… Insya Alloh pasti nonton juga.
SukaSuka
Amin
salam sehati
SukaSuka
Ping-balik: NoBar BeBlog : Negeri 5 Menara | Komunitas Blogger Bekasi
jadi penasaran pengen nonton !!
SukaSuka
semoga cepet bisa nonton
salam sehati
SukaSuka
wah nggak ajak-ajak neh, hubungi kalau ada eventnya lagi, nobar memang mantap
SukaSuka
Alhamdulillah, saya sudah nonton film ini sampai dua kali. Tapi ya ending ceritanya terasa adayg hilang, hehehe. tahu-tahu alifnya sdh besar, hahaha 😀
salam
Omjay
SukaSuka
Salam.
Wah iya nih, sampai dua kali Om?
Hebaaat …!:-)
Salam sehati
SukaSuka
yaaah memang, film N5M tu trilogi. makanya endingnya ngegantung..kelanjutannya alif jadi murid pertukaran pelajar di kanada..
salam manjadda wa jada..
SukaSuka
Ya benar
Memang sutradara manapun akan kesulitan meringkas Novel panjang menjadi tayangan dua jam saja
Kita tunggu kelanjutan film ini (semga ada!:-)
Salam sehati
SukaSuka
wauuu keren banget
boleh dong kapan-kapan mampir ke websiti kami di http://ict.unsri.ac.id
terima kasih.
SukaSuka
Yes!
Makasih.
salam sehati
SukaSuka
Belum kesampaian nonton nih mas. Kemarin ngajak jalan anak2 malah batal nontonnya 🙂 Moga2 kapan2 kesampaian nonton film ini
SukaSuka
salam
harus nonton berdua sam aistri mas
hahaha…
salam sehati
SukaSuka
The truth just shines thrguoh your post
SukaSuka
That insight would have saved us a lot of effort early on.
SukaSuka
belum nonton
SukaSuka
buat jadwal nontonnya ya
itung-itung membantu perfilman Indonesia
salam sehati
SukaSuka
pengin banget nonton,,,,
SukaSuka
memang harus ditonton
budayakan nonton film Indonesia bermutu
salam sehati
SukaSuka
ea insya allah….minggu ini mw nnton,,
salam kenal
SukaSuka
1 tahun menunggu film N5M. ehh setelah nonton filmnya terasa ada kurang greget, karena berbeda dengan novelnya.
tetapi overall Negeri 5 Menara patut untuk menjadi film keluarga dan yang sedang menuntut ilmu.
kita tunggu Ranah 3 Warna muncul di layar.
salam Manjadda wa jada..(◦ˆ⌣ˆ◦)
SukaSuka
yes !
begitulah rasanya kalau sudah membaca novelnya dan menonton filmnya
selalu saja ada yang hilang atau berubah
salam sehati
SukaSuka