Pulau Rambut : Photography Couching Clinic

hunting foto

“Sekarang ini semua camera sama saja kok, mau Nikon atau Canon pada dasarnya sudah sama. Beda dengan kondisi sepuluh tahun lalu, dimana dua penganut agama (Canon dan Nikon) saling mengklaim merk yang mereka panuti sebagai merk terbaik”

“Benar, kalau mau yang prestise jangan bicara Canon atau Nikon, tapi bicara Hasselblad. Ini camera yang harganya sudah ratusan juta”

“Hahahaha…. padahal spesifikasinya tidak jauh beda dengan Canon atau Nikon ya”

“Kalau mau lagi, boleh tuh tenteng Leica yang harganya sudah milyard”

nikon canon

Diskusi para penggemar fotografi di pulau Rambut ini berlangsung seru. Ilmu para peserta diskusi ini memang sangat beragam dan sangat jauh bedanya, sehingga saat kuusulkan untuk secara resmi diadakan Couching Clinic, mereka malah keberatan. maklum kalau pesertanya tidak homogen mereka akan kesulitan memberikan materinya.

Peserta gathering para pecinta fotografi di Pulau Rambut ini memang terdiri dari berbagai kelas, mulai dari yang tidak bawa camera, yang bawa camera tapi masih sangat amatir, sampai yang sudah tingkat profesional, meskipun mereka tetap tidak mengaku sebagai tukang foto profesional.

Jadilah couching clinic dilakukan secara langsung di lapangan. Kita perhatikan mereka saat melakukan pemotretan dan kita tanya yang bisa kita tanyakan.

Nikon dari NU (Non UGM)

“Lampu blitz jadi barang haram bagi sebagian tukang foto, karena akan mengurangi nilai natural sebuah obyek”

“Teknik slow speed sangat rentan terhadap gangguan obyek yang tidak diinginkan, jadi lokasi pemotretan harus bebas dari gangguan obyek yang tidak diinginkan oleh pemotret”

Perbedaan tingkat pemahaman dari para peserta acara ini akhirnya menjadi sebab terjadinya beberapa gangguan sesi pemotretan dengan modus slow speed. Frame yang sudah disetel sedemikian rupa ternyata dimasuki oleh obyek yang tidak diinginkan. Hal ini terjadi karena pemahaman yang jauh berbeda terhadap sesi pemotretan sunrise.

Canon

Paa sesi pemotretan tanpa lampu di malam hari hal ini tidak terjadi, karena semua peserta lebih banyak yang ngobrol di tenda, teras maupun meringkuk di kamar, tapi pada sesi pemotretan sunrise, hampir semua peserta ikut di lokasi pemotretan. Para tukang fotopun bisa melakukan explore dermaga dalam gelap malam. Mereka baru berhenti motret ketika batere camera sudah tidak bisa diajak bekerja lagi.

Pada sesi pagi (sunrise), gangguan pertama diawali dari camera pocket yang disetel otomatis, sehingga langsung menghidupkan lampu kilat ketika dipakai untuk memotret.

Gangguan kedua terjadi ketika ada seorang peserta yang berjalan di dalam frame camera. Ketika diminta untuk balik ke pantai dan tidak berdiri di tanggul pantai, dia merasa tidak perlu balik ke pantai, karena dia tidak menyadari bahwa dia sudah masuk dalam frame para pemotret dan sosoknya akan menganggu bidikan para pemotret. Mungkin dia mengira para pemotret mengkhawatirkan dia jatuh ke laut, padahal dia tidak takut jatuh ke laut, jadi kenapa harus balik ke pantai?

Bukaan camera yang berlangsung sampai beberapa menit akan merekam jejak orang yang berjalan di atas tanggul pantai sebagai obyek yang tidak jelas, kecuali kalau orang tersebut mampu diam tanpa bergerak selama kondisi lensa camera sedang merekam gambar.

Ternyata memang sangat asyik mengikuti para profesional melakukan pengambilan gambar. Pada sesi pemotretan burung atau binatang melata, cara pemotretan berbeda lagi. Perlu ada kecepatan yang tinggi untuk menangkap obyek bergerak dan siap mengikuti pergerakan obyek bergerak dengan tembakan ganda, bukan tembakan tunggal.

“Kalau motret burung dan matanya tidak kelihatan rasanya kurang mantap”

“Jadi ingat cameranya mas RDP yang bisa memotret secara beruntun seperti senapan mesin”

“Jangan menakuti obyek, jangan memakai pakaian yang mencolok, dekati dengan hati-hati obyek yang mau dipotret dan jangan sampai obyek terganggu dengan kehadiran kita”

Mengintip obyek dibalik rimbun dedaunan

Dari balik rimbun hutan, para pemotretpun saling berlomba membidik binatang buruan mereka. Sepatu yang cocok, topi dan baju lengan panjang wajib dipakai untuk menghindari gangguan selama pemotretan. Beberapa tempat memang membuat sandal kita jadi hancur, demikian juga kulit kita jadi sering kena duri kalau tidak memakai baju lengan panjang.

Kotoran burung sempat kuterima dan meskipun sudah memakai topi, tetap saja kotoran burung itu membasahi baju dan kulit leherku. Banyak sekali kendala saat melakukan sesi pemotretan ini, tetapi herannya semua tetap bersemangat untuk keluar masuk hutan. Sesi pemotretan di hutan memang mengundang bekerjanya adrenalin di tubuh.

“Ayo mas Eko, masuk hutan lagi, lumayan sejam bisa dapat banyak foto sambil nunggu kedatangan kapal”

“Gak usah pakai baju macem-macem, pakai sarung saja sudah beres”

Ajakan ini terpaksa tidak kuikuti karena ada acara pesan dan kesan para peserta sebelum dijemput kembali ke pulau Jawa bagian teluk Naga. Acarapun ditutup dengan sangat manis, karena ternyata semua kesan peserta sangat puas dengan acara ini.

“Saya sudah menyiapkan diri untuk hidup sengsara di pulau Rambut ini, tanpa air tawar, tanpa listrik dan tanpa warung”

“Mandi pakai sabun tetap tidak terasa sedang mandi. Airnya asiin banget”

“Ada cerita seram di balik pulau Rambut ini yang bikin merinding”

Semua hal negatip itu hanya disampaikan tetapi tetap tidak menyurutkan kenikmatan mereka mengikuti acara gathering para pemotret Komunitas Kagama Virtual. Luar biasa semangat kebersamaan ini.

hunting foto

(bersambung)

+++

Spesifikasi Leica H4D-40 adalah sebagai berikut; sensor medium format beresolusi tinggi 40 MP, Hasselblad True Focus dan lensa HC 80mm f/2.8.

11 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.