Pulau Rambut : Untung aku (akhirnya) ikut

sunrise

Setelah menyatakan ikut menyaksikan pelatikan Komunitas Fotografer Kagama Virtual di Pulau Rambut, aku langsung membayar biaya pendaftaran sebesar 300 ribu. Tentu aku mikir juga, bagaimana uang sebesar ini akan memuaskan peserta yang puluhan jumlahnya. Padahal kalau dibaca urutan acara, banyak acara makan, minum, pembagian hadiah dan hal-hal lain yang butuh dana.

Apa mungkin uang sebanyak itu cukup untuk biaya perjalanan ke Pulau Rambut pulang pergi? Belum lagi biaya makan minum, sewa tempat, tenda, tikar dll yang tentu juga perlu uang. Yang lebih jhoss lagi adalah semua peserta mendapat kaos gratis. Jujur saja, aku ndaftar karena penasaran dengan biaya yang begitu murah dibanding apa yang akan kita dapatkan disana.

Pulau Rambut surganya para burung

Waktu terus berlalu dan makin dekat dengan hari H, ternyata aku malah makin tidak semangat ikut ke Pulau Rambut. Aku ragu-ragu dengan apa yang akan kudapat di Pulau itu dibanding kalau aku pergi ke Jogja dan bertemu Anis kekasih hatiku. Namun semangat untuk ke Pulau Rambut tetap ada di hatiku, sehingga akupun mulai mengontak satu demi satu orang yang mungkin bisa mengarahkan aku tentang apa yang harus kubawa dan apa saja yang memang wajib dibawa.

Pulau Rambut bukan pulau wisata, jadi pasti tidak ada restoran ataupun warung. Sabun biasa juga tidak bisa dipakai disini karena airnya asin dan tidak ada air tawar. Sabun yang biasanya begitu nyaman dipakai dijamin tidak sakti di pulau ini. Hutan untuk berburu (motret) margasatwa di pulau ini juga membuatku malas. Maklum aku cukup dicintai serangga, jadi kalau mau masuk hutan pasti keluar dari hutan sudah bentol-bentol kulitnya.

Kagama Virtual Gathering di Pulau Rambut

Ternyata panitia kekurangan beberapa hal yang secara teori bisa kupenuhi. Yang pertama “TOA” untuk pengeras suara dan satunya mobil untuk mengangkut peserta bolak balik ke Teluk Naga. Sejak di Pekanbaru aku sudah kontak ke teman kantor untuk menyiapkan TOA karena aku akan ke pulau Rambut untuk memimpin acara “ice breaking”.

Sampai di airport Soeta aku langsung menuju kantor Waskita di Cawang untuk memastikan bahwa besok aku bisa membawa TOA ke acara gathering ini. Semua terlihat lancar dan under controlled, sampai akhirnya kendala muncul satu demi satu.

Pesawat terlambat dari Jakarta, sehingga dari Pekanbaru ikutan terlambat. Sampai di Jakarta, macetnya tidak ketulungan. Biasanya meskipun ramai, tapi arah Cengkareng Cawang cukup lancar. Ternyata hari ini tidak terjadi seperti yang kuharapkan.

Sampai di kantor aku mencari TOA yang besok akan kubawa. Ternyata barangnya tidak ada di mejaku, padahal kantor sudah bubaran. Maklum hari Jumat, jadi semua orang berlomba pulang. Untung masih ada bagian maintenance yang belum pulang. jadi aku bisa minta tolong mereka untuk mencarikan TOA yang kumaksud.

Ternyata pemahaman akan merk TOA ini berbeda antara aku dan temanku. Toa menurut mereka adalah megaphone, sementara aku menganggap TOA adalah wireless mice dengan dua buah mic wireless. Untung kita selalu berbaik sangka, sehingga tidak ada ketegangan yang terjadi, meskipun dalam hati aku sudah tegang.

Alamat tidak jadi bawa mic wireless nih gara-gara permintaanku yang kurang jelas.

Wireless mic ternyata tidak berada di tempatnya. Akupun tiba-tiba tersadar bahwa aku ternyata sudah panik. Tidak seru kalau acara ice breaking memakai megaphone, jadi secara naluri wajahkupun berubah menjadi penuh ketegangan.

Temanku rupanya menangkap aura yang sedang melingkupi diriku, sehingga dia berusaha keras untuk dapat menemukan mic wireless. Akhirnya dengan sedikit melakukan pelanggaran, maka wireless mic dapat dikeluarkan dari ruangan yang terkunci. Kisahnya jadi mirip Mission impossible.

Menanam bakau di Pulau Rambut

Menanam bakau di Pulau Rambut

Dengan lega aku bisa menikmati malam yang panjang menanti munculnya matahari terbit di hari Sabtu. Rasanya waktu berjalan begitu pelan dan aku tetap terjaga sampai akhirnya adzan berkumandang dan akupun langsung mandi dilanjutkan menunggu Indri, salah satu panitia yang akan menemaniku melewati perjalanan Cawang – Soetta – Teluk Naga.

Sampai di Teluk Naga, kulihat tidak banyak peserta yang membawa tas sebesar aku. Rata-rata mereka membawa tas kecil saja. Aku sendiri karena mengikuti saran panitia, jadi membawa tas yang cukup besar. Isinya, mulai dari senter, Aqua besar, sarung, sajadah, obat-obatan pribadi, tisue basah, lotion anti nyamuk (berbagai merek), perlengkapan mandi (handuk, sabun dll) serta pakaian tiga setel.

Wah terlalu banyak rupanya bawaanku. Belum lagi aku harus membawa tas camera yang lumayan berat juga, karena membawa beberapa lensa, dan perlengkapan pemotretan lainnya. Akhirnya aku cuek saja dan berangkatlah ke Pulau Rambut. Badan yang basah oleh keringat dan terkena terpaan air laut yang asin membuatku merasa risi dan pingin segera mandi.

Ketika akhirnya aku masuk ke salah satu kamar mandi, maka hilanglah selera mandiku. Kayaknya aku memutuskan untuk tidak banyak bergerak saja agar tidak keringatan dan aku tidak perlu mandi sampai kembali lagi ke Jakarta.

Ternyata peserta gathering ini semuanya bersemangat (mungkin karena semuanya sebaya, termasuk pak Hatta). Jadilah aku berjalan kesana kemari, basah oleh keringat dan malamnya memutruskan untuk tidak mandi. Anakku pasti tersenyum kalau membaca bagian ini. Maklum aku biasanya terkenal rajin mandi dan suka ngomel kalau melihat anaknya tidak segera mandi.

Lotion anti serangga juga akhirnya tidak kupakai, meskipun aku sudah keluar masuk hutan dan terkena berbagai duri serta tergigit oleh beberapa serangga. Pertandingan bola antara Timnas dengan Inter Milan rupanya juga tidak membuat peserta meninggalkan acara games di malam hari (hanya diterangi lampu emergency).

sunrise

sunrise

Sungguh damai malam itu melihat semua teman-teman yang kebanyakan belum pernah bergaul secara akrab menjadi sangat akrab dan bisa bercerita dari hati ke hati. Capek badan akhirnya membuatku tertidur meskipun hanya sebentar. Rupanya kebiasaanku mandi pagi tidak bisa kutinggalkan. Jam 03.30 akupun menuju ke kamar mandi dan mulai mengguyur badanku dengan air asin dan tebukti sudah sabunku tidak sakti, Tak ada busa yang keluar ketika kusabuni tubuhku.

Kebiasaanku ini pula yang akhirnya membawaku menerima doorprize sebuah celana pendek MERAH menyala. Terima kasih panitia, terima kasih semua teman-teman. Sampai ketemu gathering spesial di Jogja pada bulan Desember nanti.

Salam sehati.

Menunggu matahari terbit

Menunggu matahari terbit

7 komentar

  • wow… sampai antri nunggu matahari terbit….. jadi pengen ngatri juga nih saya

    Suka

  • lucuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu bangetttttttttttttttttttttttttttttttt

    Suka

  • Mas Eko kok nampak tegang dan serius banget…, padahal peserta yang lainnya kayaknya full hahahihi… pripun, Mas? Hahahahaha 🙂

    Suka

    • Salam Mas Anung,

      Setiap saat aku mikir piye le adus je?
      Awak kemringet, teles – garing – teles maneh – garing maneh…
      Banyu uyah asin (ning suwe-suwe terbiasa kumur-kumur banyu asin)
      Seminggu dolan, Kalimantan-Sumatra, njur langsung ke Pulau Rambut, dadi hanya memakai sisa-sia tenaga saja.

      Hahaha… hari yang aneh
      Meninggalkan Anis hanya untuk merasakan mandi air asin, keberet duri pohon semak, diteleki manuk, kejeglong lumpur rawa atau tidur tanpa kasur (mung lemek karpet plastik)

      Salam sehati

      Suka

  • whuahh,,, seru banget pak :). sunrise nya kerennnnn :).

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.