Kejujuran masih ada dimana-mana

Charger Sony yang ketemu lagi

“Kejujuran masih ada dimana-mana”

+++

“Minta perhatian, adakah yang merasa mempunyai tas dan ketinggalan di bus kemarin?”, suara Anita temanku.

“Tas itu kemarin ditemukan oleh sopir bis yang kita tumpangi bersama dan sudah diantar ke kantor kita. Ada yang merasa kehilangan tas?”

Terlihat seorang lelaki mengacungkan tangannya dan kamipun heran melihat dia bisa setenang itu padahal kehilangan sebuah tas yang berisi penuh barang-barangnya. Atau jangan-jangan karena begitu stress jadi dia malah hanya bisa bersikap setenang mungkin.

“Kok masih ada ya orang sejujur itu di Jakarta ?”, kata Ritfan berbisik di dekatku.

Aku tersenyum dan mengingatkan Ritfan akan chargerku yang hilang beberapa minggu lalu dan ternyata bisa diketemukan kembali karena disimpan oleh satpam yang melihatnya tergeletak di meja presentasi.

“Satpam itu tidak kenal aku dan harga charger itu lumayan mahal, tapi dia tetap tidak tergiur untuk mencurinya. Dia justru menyimpannya dan kemudian saat jam kerja dia menaruh kembali charger yang dia temukan di tempatnya saat dia temukan”

Charger Sony yang ketemu lagi

Charger Sony yang ketemu lagi

Kejadian ini mirip dengan ketika aku dikejar oleh pemilik warung setelah sarapan pagi di warung srempet. Kita berpikir ada sesuatu yang kurang bayar, sehingga sang pemilik warung mengejar kita, ternyata pemilik warung itu membawa sebuah Samsung SII yang tertinggal di meja warung dan dia yakin kitalah pemiliknya.

Aku kembali ingat ketika saat tahun 70an, aku terjatuh saat main kebut-kebutan motor di jalan umum. Waktu itu rantai sepeda motorku putus dan tersangkut di roda motor, sehingga roda langsung berhenti berputar dan motor selip karena ngerem mendadak. Kulihat beberapa orang begitu tulus menolongku membetulkan rantai sepeda motorku.

“Gratis”, kata salah satu penolongku yang kukenal sebagai pemilik bengkel dan melihatku tidak membawa uang sepeserpun.

Seharusnya mereka jengkel mendengar suara deru sepeda motorku yang begitu keras dan jatuhnya sepeda motrorku yang mengejutkan mereka, tetapi ternyata mereka melupakan hal itu dan lebih mengedepankan belas kasih untuk menolong sesama.

Ah masa SMA yang penuh nostalgia. Sekarang aku sering tersenyum sendiri ketika naik motor dan hanya berani di kecepatan sekitar 40 km/jam saja.

Aku juga jadi ingat dengan mas Barra, ketua TDA Bekasi yang begitu ikhlas menolong korban laka lalu intas yang tidak dikenalnya, sampai dia sendiri yang dituduh sebagai penabrak yang ditolongnya. Mobilnya jadi penuh darah dan dia ikhlas melakukannya, tidak seperti sebagian dari kita yang lebih baik menonton atau menyingkir pelan-pelan melihat hal seperti itu.

Ingatanku meluncur lagi ke masa aku SD. Sudah kutulis di salah satu artikel kejujuran di blog ini, Kukutip lagi saja di bawah ini.

+++

Ceritanya ketika SD, tahun 60-an, aku secara tidak sengaja mengeluarkan “angin” di kelas, dan kemudian guruku dengan kewibawaannya bertanya pada seisi kelas.

“Siapa yang tadi kentut? Ayo jadilah satria dengan berlaku jujur. Tidak gampang jadi orang jujur, maka jujurlah dan katakan siapa yang kentut?!”

Dengan mantab aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, harapanku aku akan diberi penghargaan atas kejujuranku.

Dan terjadilah peristiwa itu, pak Guru dengan wajah tenang menghampiriku dan kemudian dengan dingin melayangkan tangannya ke kepalaku.

“Duess!”

Sakit di luar dan lebih sakit lagi di dalam hatiku. Aku merasa dikhianati. Aku ingin menangis tapi hatiku yang luka membuat aku tidak mampu menangis, meskipun sakit di kepalaku seharusnya cukup membuat anak SD seusiaku menangis. Air mataku tertahan di sudut mataku.

Ketika besar, aku mulai dapat memahami mengapa guruku sangat marah pada anak yang kentut di dalam kelas yang dengan mata berbinar-binar mengacungkan tangannya untuk menunjukkan bahwa dialah pelakunya.

Cerita itu, alhamdulillah, dapat mengingatkan aku agar jangan pernah memarahi anak yang sudah berani berkata jujur untuk mengakui kesalahannya. Kesalahan yang dibuat anak dapat ditebus dengan memperbaiki kesalahan itu, tapi kalau kita memberikan hukuman yang terlalu berat karena dia telah berkata jujur, maka mungkin akan menjadi trauma besar bagi si anak.

Marilah kita berlapang dada untuk memaafkan anak kita dan siapa saja yang telah berani berkata jujur untuk menunjukkan kesalahannya, dan tugas kita menunjukkan pada mereka solusi agar hal itu tidak terjadi lagi.

+++

Selamat buat mereka yang selalu jujur dalam hidup ini.

8 komentar

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.