Film Indonesia merajai tahun baru 2014

Nobar Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Film Indonesia merajai tahun baru 2014 ini. Ramainya film Indonesia sudah terasa pada beberapa tahun belakangan ini. Setelah sempat jatuh bangun, maka para sineas Indonesia mulai mendapat hati di kalangan penonton film bioskop. Meskipun pada awalnya film yang alris manis adalah film “smapah” yang bercerita tentang hantu dan sex, tapi perlahan dan pasti selera masyarakat mulai bertambah dengan film yang diangkat dari buku ataupun film biografi.

Hanung Bramantyo tercatat sebagai salah satu sineas yang menjadi jaminan larisnya sebuah film. Bahwa kemudian ternyata film karya Hanung selalu penuh dengan kontroversi, maka mungkin memang itulah yang menjadi salah satu kelebihan dari Hanung. Tentu masih ingat ramainya film Perempuan (Revalina) berkalung Sorban.

“Wah mas Eko, film itu dikritik habis-habisan oleh seorang imam masjid yang terkenal lho”

“Iya tuh, aku sempat melihat tayangan beliau di TV”

“Bagaimana menurut mas Eko kritikan dari sang Imam?”

“Itu sebuah kehati-hatian yang memang perlu disampaikan mas. Sayang sang Imam tidak sempat melihat film itu sendiri dan hanya mendapat info dari orang kepercayaannya tentang isi film itu”

Film Indonesia laris lainnya yang juga penuh kontroversi adalah film SOEKARNO. Kabarnya keluarga bapak bangsa kita ini juga kurang sreg dengan beberapa adegan dalam film ini. Aku sendiri tidak membaca materi ketidak-setujuan mereka, tapi kalau aku jadi keluarga mereka, mungkin aku juga akan memberi masukan untuk film ini.

Film SOEKARNO yang berdurasi sekitar 150 menit memang sarat dengan cerita yang jarang dimunculkan di layar lebar atau dalam buku-buku populer. Kisah cinta Inggit yang cantik dan penuh pengorbanan disandingkan dengan kisah Ibu Fatmawati yang juga penuh dengan onak dan duri. Dengan trampil Hanung menggambarkan kisah cinta SOEKARNO dengan Ibu Fatmawati di tengah kehidupannya yang sudah mapan dengan Inggit. Alasan perceraian dan kenapa SOEKARNO harus kawin lagi ditampilkan dengan cukup runtut, meski terlihat agak dipaksakan karena tuntutan durasi.

Film ini layak tonton, minimal untuk memperluas cakrawala kita tentang sosok SOEKARNO yang kita sayangi dan kita ketahui mempunyai beberapa kelemahan yang manusiawi. Yang membuat film ini berbeda adalah ketika penonton diminta untuk berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hanung telah mempersiapkan penonton untuk melihat film ini dengan kacamata kebangsaan.

Film Indonesia teranyar yang juga menarik minat para pecinta film Indonesia adalah film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Buya HAMKA. Sebuah karya sastra dalam bentuk buku yang ditayangkan dalam bentuk film layar lebar pasti akan menuai konrtroversi, bahkan sebuah Novel apik Papillon ketika ditayangkan di layar lebar juga mendapat kritikan yang tajam.

Semua bayangan yang ada pada benak pembaca buku langsung terwujud dalam bentuk nyata berdasar benak sang sutradara. Bayangan yang terwujud ketika membaca buku itu bisa sesuai bisa juga tidak sesuai. Inilah memang tantangan menayangkan buku ke layar lebar.

Film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” penuh dengan gambar-gambar indah dan mengingatkan kita pada film Di bawah lindungan Ka’bah. Disamping karena pemeran prianya yang sama, juga latar belakang cerita yang sama. Film ini malah terasa mirip sinetron jaman modern yang selalu penuh dengan mimpi.

Adegan ala Titanic terlihat tidak digarap dengan baik, sehingga sangat “njomplang” (tidak imbang) dengan kualitas gambar sebelumnya yang bisa bercerita lebih banyak. Bila Hanung tidak sanggup menayangkannya dengan CGI yang memadai, sebaiknya adegan ini dihilangkan saja dan diganti dengan  tayangan lain yang bermuatan materi sama.

Adegan yang mengusikku di film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah adegan Zainuddin mencium Hayati. Nafas Islami yang begitu kental di awal cerita langsung hancur begitu adegan ini ditayangkan. Padahal di adegan sebelumnya, bahkan bersentuhan saja sudah dianggap haram oleh Zainuddin. Sayang memang adegan ini muncul.

Apapun kontroversi dari berbagai film Indonesia yang ada, bagiku masih lebih baik dibanding menonton film Pocong Sexy yang selalu penuh dengan kemustahilan dan ketidak wajaran. Sudah saatnya kita dukung film Indonesia diluar film Pocong Sexy. Rasanya tidak salah pilih kalau acara nobar (nonton bersama) dari komunitas cinta Indonesia mengambil film Indonesia berkualitas sebagai pilihan mereka. Setidaknya kita bisa belajar banyak dari film Indonesia, meskipun selalu muncul kontroversi yang akan memperteguh iman kita, asal kita pandai melihatnya dengan mata yang jernih.

Aku sudah melakukannya dengan berbagai komunitas dan malam ini aku melakukannya lagi bersama komunitas Anti Miras Jogja.

Nobar Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Nobar Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

+++

Inggit Garnasih (lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten BandungJawa Barat17 Februari 1888 – meninggal di BandungJawa Barat13 April 1984 pada umur 96 tahun [1] adalah istri kedua Soekarnopresiden pertama Republik Indonesia. Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda. Sekalipun bercerai tahun 1942, Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal. Kisah cinta Inggit-Soekarno ditulis menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang. (Wikipedia)

3 komentar

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.