Man behid the PIT

Sepedaan di Alun alun Solo

Kalimat “Man behid the PIT” adalah plesetan dari kalimat “man behind the gun”, yang penting bukan alatnya tapi siapa yang memegang alat itu. Ini istilah umum yang dipakai untuk menunjukkan bahwa manusia itu adalah sumber daya yang berbeda dibanding sumber daya lainnya. BBM adalah sumber daya yang vital banget, tapi tetep saja manusia di belakang BBM itu yang akan menentukan bagaimana BBM itu dikelola. BBM-nya sendiri ikut saja kemana sang pengelola menyuruh, asal sesuai dengan hukum alam.

Air itu adalah sumber daya yang hukum alamnya mengalir ke tempat yang rendah dan manusia tidak bisa menyuruhnya untuk menjadi mengalir ke atas melawan hukum alam. Meski begitu, manusia yang dibekali akal akan bisa melakukan berbagai cara agar sang air mengalir ke atas melawan hukum alam.

Aku tersenyum memaknai kalimat “Man behind the PIT” ketika aku akan meluncur ke Solo (lagi) dan sudah merencanakan mencari waktu luang untuk bersepeda. Pengalaman beberapa bulan lalu saat bersepeda ke Makam Ibu Tien Soeharto di Mangadeg Solo telah menunjukkan dengan gamblang bahwa sepeda sebagus apapun, tetap akan tergantung pada pengendaranya. Tergantung pada manusia yang menggowesnya.

Seorang lelaki tua, mengaku berumur 67 tahun, dengan santai menggowes sepeda di sampingku, ketika aku gowes di Solo. Dia sudah menyalip beberapa pesepeda dan kemudian langsung akrab menyalamiku.

“Darimana mas ?”, katanya

“Dari Jogja pak”, jawabku

“Wah saya dulu juga tinggal di Jogja, sekarang tinggal di Solo dan bla…bla…bla…”

Bapak tua itu terus mencerocos “ngalor ngidul” tentang Jogja dan kekhasannya sebagai kota sepeda. Sampai akhirnya sang bapak merasa kalau kecepatan sepedaku makin melambat, sementara dia tetap konstan dan akhirnya mendahuluiku. Sang bapak rupanya melanjutkan ceritanya dengan pesepeda yang ada di depanku. Terlihat mereka tertawa bersama dan akhirnya tidak terlihat lagi karena sepedaku makin melambat dan mereka tetap bersepeda dengan konstan.

Di pos pemberhentian untuk “regrouping” dan mampir ke toilet, kembali kulihat bapak itu ikut bergabung dengan komunitasku. Ikut bersenda gurau, padahal dia baru saja berkenalan dengan kita. Beberapa temanku ikut membahas sang bapak tua dengan sepeda tuanya.

“Bapak tua itu hebat lho pak Eko. Dari tadi nyerocos terus sambil sepedaan, kok kuat ya?”

“Aku sudah membuktikannya pak. Dia tetap nyerocos tanpa tersengal-sengal napasnya, padahal jalan terus menanjak dari tadi”, jawabku.

Sampai di etape terakhir, aku sudah mengukur diriku tidak akan kuat, sehingga aku naik mobil di kilometer terakhir dan menunggu di lokasi makam Mangadeg. Pesepeda pertama yang masuk finish adalah seorang pembalap nasional Fani Gunawan, berdua dengan muridnya seorang cewek, Mona namanya. Setelah itu dua orang yang muncul adalah goweser dari pihak Owner (pemilik proyek) yang ikut bergabung dan bapak tua itu yang tetap dengan santai mengayuh sepeda bututnya.

Gowes Makam Astana Giribangun

Gowes Makam Astana Giribangun (minjam sepeda orang lain)

Kutaksir harga sepeda bapak tua itu tidak akan sampai dua juta, karena bodinya semuanya terbuat dari besi dan kondisinya sangat tua. Sepedaku juga bukan sepeda mahal, tapi pasti lebih mentereng dibanding sepeda bapak tua itu. Sedangkan puluhan sepeda yang kemudian satu persatu muncul dengan mode “dituntun” adalah sepeda mahal dengan harga puluhan kali lipat harga sepedaku, apalagi dibanding sepeda bapak tua itu. Tak terbilang berapa puluh kali lipat pastinya.

Selama ini isu yang beredar tentang komunitasku adalah “komunitas sepeda mahal”, bahkan ada yang pernah bilang begini,”kalau harga sepeda masih di bawah 20 juta jangan ikut komunitasnya pak Eko, nanti malu sendiri”

Bapak tua ini telah membuktikan bahwa dia ikut bergabung dengan komunitasku dan kita terima dengan baik, bahkan kita hormati karena dia telah sanggup mengiringi seorang pembalap nasional yang ikut komunitasku.

Mosso sampai juga ke Warung Ijo

Mosso sampai juga ke Warung Ijo

Sepedaku juga harganya jauh di bawah 20 juta, tapi aku enjoy saja ikut komunitas ini. Saat rute Borobudur Jogja dengan mengambil medan naik turun di Kalibawang Sendangsono, aku juga naik sepeda murah dan sukses tidak nuntun sepanjang rute. Sementara itu berbagai sepeda mahal yang dinaiki oleh goweser yang jarang latihan sepeda terpaksa nuntun sepeda di beberapa tanjakan. Nuntun sepeda adalah sebuah pekerjaan haram bagi beberapa komunitas sepeda khusus.

Benar kata kalimat “Man behind the PIT”, semuanya tergantung latihan rutin dari sang pesepeda. Semuanya tergantung niat dari orang yang naik sepeda, bukan oleh mahalnya harga sepeda 🙂

Sepedaan di Alun alun Solo

Sepedaan di Alun alun Solo

24 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.