Kepastian yang tidak pasti

Pagi ini aku ke Bandung dan menulis statis di FB tentang perjalananku ke Bandung. Seorang teman setia, juga membuat status tentang perjalananku itu, dengan menulis kalimat tentang sebuah “Kepastian yang tidak pasti”. Kalimat dari temanku itu terus menempel di kepalaku sampai aku pulang dari Bandung dan sampai aku menuliskannya di artikel ini.
Merujuk pada kejadian kepergianku ke Bandung, maka aku merasa kalimat Kepastian yang tidak pasti itu adalah sebuah kalimat yang pasti benar, tapi jarang orang yang mau menuliskannya di status FB mereka. Paling mereka hanya memberi jempol, sebagai tanda suka, atau malah menulis status yang lain, meskipun masih berhubungan dengan “kepastian” itu.
Aku jadi ingat beberapa puluh tahun lampau ketika sering menghadiri acara di mushola kampung. Secara rutin ada pembicara yang selalu bercerita tentang “kepastian” dalam hidup ini. Kalau sang pembicara adalah bapak itu, maka pasti ceritanya tentang “kepastian hidup” dan beliau tidak pernah mengambil topik yang lain.
Pada kehidupan sehari-harinya, bapak itu bekerja sebagai sopir di rumah sakit yang sering membawa mayat orang dalam mobilnya. Selalu saja ada cerita lucu tentang kejadian di kamar mayat, di mobil jenazah atau dimana saja tentang sang mayat. Satu hal yang paling kuingat ketika dia harus menjadi driver sendirian dan penumpangnya adalah seorang yang sudah menjadi mayat.
Dalam perjalanan malam berkilo-kilo meter jauhnya, tiba-tiba jantungnya hampir copot karena ada yang menepuk pundaknya sambil berkata.”sudah sampai dimana ini?”
Kita semua ikut kaget dan kemudian disambung riuhnya kita menertawakan teman di samping kita yang ikut kaget seperti sang driver. Rupanya ada penumpang gelap yang tertidur di dalam mobil jenazah dan begitu terbangun menyapa sang driver, padahal sang driver merasa yakin bahwa penumpangnya hanya seorang yang sudah menjadi mayat.
Almarhum bapak juga sering bercerita yang lucu-lucu tentang kejadian di rumah duka. Banyak sekali cerita tentang hal itu yang didongengkan bapak di masa hidup beliau. Ceritanya sudah sangat umum dan mirip-mirip tetapi tetap saja aku suka mendengarkan cerita dari bapak. Mungkin sama kejadiannya dengan anak-anakku yang sangat suka didongengkan cerita apa saja ketika mereka masih kecil.
Kalau dari bapak, cerita yang paling kuingat adalah ketika sedang di kampung menungguin jenazah sambil main kartu. Setelah lewat tengah malam dan menjelang subuh, para pemain kartu mulai ngantuk dan merasa kedinginan, sehingga merekapun berpamitan pulang. Ternyata ada salah satu orang yang merasa bertanggung jawab dan tidak ikut pulang, tapi tetap menungguin jenazah di ruangan itu. Paginya orang ribut berlarian karena mayat yang ada di keranda ternyata masih hidup. Itulah sang penunggu mayat yang karena kedinginan ikut tidur disamping sang mayat.
Kisahku sendiri di seputaran mayat adalah ketika aku menjadi MC (pembawa acara) saat ada upacara pemberangkatan jenazah. Sebagian besar penduduk kampungku mengenalku sebagai pembawa acara di berbagai acara, baik di kampung maupun di luar kampung, maka merekapun menyerahkan tugas pembawa acara pada aku.
Akupun jadi mati kutu, karena banyak menemukan bahan humor selama menjadi MC, tetapi aku tidak bisa menyampaikan pada para hadirin. Waktu itu rasanya benar-benar tidak nyaman. Serba salah tapi tidak boleh salah.
Di sepanjang perjalanan dari Bandung Jakarta, di mobil, aku ikut terhanyut dalam pembahasan tentang sebuah “kepastian yang tidak pasti” ini. Kuceritakan saat adik kandungku Dwi Suharno meninggal. Dirapikannya semua peralatan pancingnya dan ditemuinya istrinya sebelum meninggal, setelah sebelumnya dia pamit meninggal pada ibuku. Adikku itu akhirnya meninggal dalam dekapan istrinya.
Bulan lalu, kakak dari istriku juga meninggal dalam pelukan anaknya. Sekarang kawanku yang sangat periang, penyabar dan selalu rajin bercanda ria, meninggal malam tadi. Semuanya seperti sudah tahu bahwa “kepastian meninggal” itu sudah pasti datang dan mereka sangat tahu kapan kejadiannya. Sementara kita yang ditinggal sampai saat ini tahu tentang “kepastian” itu tetapi tidak pernah tahu dengan pasti kapan “kepastian” itu datang.
Semua orang juga baru menyadari semua perlambang kepastian itu ketika kepastian itu sudah datang. Benar kata panutan kita,”nasehat yang paling baik adalah melihat kematian berlangsung di depan kita”.
+++
Copas BC dari BBM teman :
Kalimat indah dari Dr. ‘Aidh Al-Qarni:
Kita tidak bisa merubah yang telah terjadi
Juga tidak bisa menggariskan masa depan
Lalu mengapa kita bunuh diri kita dengan penyesalan, atas apa yang sudah tidak bisa kita rubah?
Hidup itu singkat sementara targetnya banyak
Maka, tataplah awan dan jangan lihat ke tanah
Kalau merasa jalan sudah makin sempit, kembalilah kepada Allah yang Maha Mengetahui hal yang gaib
Dan ucapkan alhamdulillah atas apa saja.
Kapal titanic dibuat oleh ratusan orang
Sedang kapal nabi Nuh dibuat hanya oleh satu orang
Tetapi, Titanic tenggelam. Sedang kapal Nabi Nuh menyelamatkan umat manusia
Taufik hanya dari Allah swt
Kita bukanlah penduduk asli bumi, asal kita adalah surga
Tempat, dimana orang tua kita, Adam, tinggal pertama kali.
Kita tinggal di sini hanya untuk sementara,
Untuk mengikuti ujian lalu segera kembali.
Maka berusahalah semampumu,
Untuk mengejar kafilah orang-orang salih, Yang akan kembali ke tanah air yg sgt luas, di akhirat sana…
Jangan sia-siakan waktumu di planet kecil ini..!!
Perpisahan itu bukanlah karena perjalanan yg jauh, Atau karena ditinggal orang tercinta,
Bahkan, kematian pun bukanlah perpisahan, sebab kita akan bertemu lagi di akhirat
Perpisahan adalah ketika satu diantara kita masuk surga,
sedang yang lainnya terjerembab ke neraka.
Semoga Allah menjadikan aku dan kalian semua menjadi penghuni surgaNya.