Jogja itu sempit

Pagi ini aku sarapan di Warung Bronkos pak Dembo Alun-alun Utara dan saat itulah aku makin yakin kalau Jogja itu sempit. Di warung itu aku ketemu dengan seorang laki-laki yang sendirian menyantap sarapan dan aku berdua duduk di depannya menyantap sarapan di pagi cerah ini.
Sebelumnya, aku gonceng istriku ke warung nasi gurih di Wijilan yang ternyata hari itu tidak buka dan sepeda motorpun kuarahkan ke Altar (Alun-alun utara) menuju warung pak Dembo depan PDHI. Inilah warung langganan kalau aku gowes, baik bareng anak istri ataupun bersama kawan-kawan S3Gama gowes kurcaci. Setiap hari Minggu memang ada acara gowes jarak pendek S3Gama, kami menyebutnya gowes kurcaci, karena lebih lama acara kulinernya dibanding acara gowesnya.
“Sedang wisata Jogja mas?”, lelaki di depanku menyapaku. Wajahnya yang ramah dan familiar membatku langsung menjawab seperti jumpa kawan lama.
“Ah aku anak Kuncen kok mas, ini keluar nyari sarapan di luar saja”
“Wah sudah hapal kota Jogja ya, dimana kuncennya?”
“Sebelah barat masjid Kuncen mas”
“Cungkuk?”
“Ya tepatnya Cungkuk”, jawabku sambil tersenyum. Pasti sebentar lagi aku akan ditanya orang-orang Cungkuk yang tidak kukenal, karena Cungkuk adalah kampung istriku dan bukan kampung kecilku.
Benar saja, pembicaraan selanjutnya berkisar tentang orang atau tempat yang berhubungan dengan kampung Cungkuk. Jelas aku tidak memahaminya, sehingga pertanyaan kualihkan ke istriku yang asli Cungkuk. Akupun kembali asyik memotret Bronkos dan memasukkan ke instagram, sampai tiba-tiba ada pertanyaan dari mas-mas yang duduk di depanku dan cukup mengusikku.
“Rumahnya kalau dengan rumah mbak Yeni sebelah mananya?”
“Yeni?”
“Iya”
“Lha saya Yeni”, kata istriku.
“Lho iya to? Saya Akhir Lusono, yang dulu ikut memberi masukan saat Monolog bu Yeni di Taman Kuliner”
Istriku langsung kaget ketika dia juga akhirnya mengenali sosok di depannya. Mas Akhir Lusono juga langsung makin bergairah ketika membahas kegiatan istriku di beberapa kiprah seninya. Pentas Kolosal Jahiliyah merupakan salah satu topik yang dibahas, begitu juga dengan pentas lain yang melibatkan istriku.

Bronkos Dembo Altar PDHI
Akupun jadi tercenung sendiri. Semakin banyak saja seniman Jogja yang kutemui di beberapa bulan terakhir ini. Akankah aku kembali ke dunia yang sudah lama kutinggalkan ini ? Pada kenyataannya, teman-teman Jogjaku masih setia bergelut dengan dunia seni dan tetap berbagi info dengan sesama seniman dari manapun.
Minggu lalu mas Akhir Lusono ikut berperan dalam pementasan seni di lingkungan Muhammadiyah. Itulah salah satu gebrakan Muhammadiyah, organisasi yang pernah kugeluti saat aku di Jogja, yang ingin mengguncang dunia seni Jogja dan mimpinya dunia seni Indonesia.
Para seniman Muhammadiyah memang tidak banyak yang aktif dan tidak rajin berkiprah dalam dunia seni. Padahal dunia seni tidak bisa lepas dari nuansa Dakwah Muhammadiyah. Pencak silat di Muhammadiyah bahkan disebut sebagai Perguruan Seni Bela Diri Tapak Suci Putera Muhammadiyah, ada kata seni dalam sebutan itu, artinya seni itu adalah sebagian hal yang penting dari kiprah Muhammadiyah.
Pembicaraan tentang dunia seni ini makin meriah ketika kita berdua diajak masuk ke rumahnya. Suasana rumah yang teduh, luas dan adem membuat pembicaraan makin hangat. AKhirnya pembicaraan harus berhenti karena kita harus pulang untuk memberi sarapan anak-anak di rumah yang masih nongkrong di depan TV menikmati suasana tahun baru 2015.
Pamitan pada pak Dembo pemilik warung Bronkos Oseng-oseng mercon baru kutahu kalau sarapan pagi ini aku ditraktir oleh mas Akhir Lusono. Dunia Seni di Jogja itu meman gsempit. Terima kasih mas, “lemah teles”, Allah swt yang akan membalas budi baik ini. Amin.

Bronkos Dembo Altar PDHI
Ping-balik: Rute seli Jogja | Blogger Goweser Jogja