Doa yang hilang

Ibu, doa yang hilang

Makin kukenang sosok Ibuku, makin aku yakin bahwa semua kenikmatan yang kuterima sampai hari ini, salah satunya adalah karena adanya sosok ibu yang selalu mengasihiku apa adanya, tanpa reserve. Apalagi ketika aku mulai membaca buku berjudul “Ibu, doa yang hilang”, sosok ibu seperti hadir dan tersenyum menatapku membaca buku itu.

Aku ingat sepeda pertamaku di tahun 60-an, pasti karena ada ibuku di cerita sepeda itu. Sepeda yang kunaiki sejak aku SD sampai aku SMA itu sangat unik, karena tidak ada yang menjual ban dalamnya, sehingga harus dipotong dulu kemudian disambung kembali. Nenek, ibu dari Ibuku, ikut juga andil dalam membeli sepeda itu. Saat itu, aku “ndudah celengan” (memecahkan tabungan) dan uangnya dipakai untuk membeli sepeda itu, tapi saat ini aku baru paham bahwa uang tabunganku tidak akan pernah cukup untuk membeli sebuah sepeda. Jadi kalau ibu dan nenek berkata bahwa sepeda itu adalah hasil dari tabunganku, pasti ucapan itu hanya untuk menyenangkan aku.

Sampai aku besar, aku masih selalu merasa bawa sepeda unik itu adalah sepeda hasil dari tabunganku. Sepeda unik itu adalah sepeda bekas yang pasti harganya murah, karena ban sepedanya mempunyai ukuran yang tidak normal. Ibuku telah membuat kenangan yang sangat indah dalam hidupku.

7 Jendela Kaca karya Labibah

Buku berjudul “Ibu, doa yang hilang” telah membuat aku kembali terkenang pada Ibuku dan akupun harus membacanya cerita demi cerita dengan banyak berhenti. Aku tidak membacanya secara langsung satu buku, tapi membacanya satu cerita dan kemudian dilanjut hari yang lain untuk cerita berikutnya.

Kulakukan hal itu karena disamping kesibukanku saat ini, juga karena aku tak tahan harus berurai air mata di depan teman-temanku. Cukup satu cerita dan satu uraian air mata saja yang masih bisa kutahankan untuk satu hari.

Ibu, doa yang hilang

Ibu, doa yang hilang

Ketika aku ke Jogja, buku “Ibu, doa yang hilang”, sempat kubawa dan kutunjukkan pada istri dan anakku. Sedikit banyak aku juga bercerita tentang caraku membaca buku ini. Anak istriku mendengarkan ceritaku tetapi mungkin mereka terlalu biasa melihat bapaknya menangis, jadi cerita tentang buku “Ibu doa yang hilang”, tidak masuk dalam hitungan mereka. Sampai akhirnya ketika suatu hari aku mengikuti pertemuan di teater WeEn (Wanita Ngunandika). Ternyata Gati Andoko, sutradara pementasan teater WeEn, mengambil salah satu cerita dalam buku itu untuk dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta, 20 Mei 2015,

Surprise !

Tidak salah kalau salah satu cerita di dalam buku itu diangkat menjadi sebuah pementasan teater. Pasti sangat menarik. Apalagi teater WeEn adalah sebuah teater yang pemeran utama maupun pemeran pendukungnya terdiri dari para ibu-ibu dan remaja muda wanita.

Jogja memang sangat menyenangkan. Kehidupan seni di kota ini sangat didukung oleh pemerintahnya. Lihat saja pementasan “Jurang” yang didukung oleh banyak seniman kawakan di Jogja, ternyata audience tidak dipungut bayaran sepeserpun. Ada nama Hasmi, legenda pelukis komik Gundala Putera Petir, yang tampil menyegarkan pementasan itu. Ada lagi Tri Sudarsono, anggota 3Tm yang tampil total dalam pementasan itu dan masih banyak lagi tokoh-tokoh seni yang sangat kenyang berpentas dimana-mana. Nama Sutradara muda Hanung, ikut membuat pementasan Jurang menjadi makin “sangar” dan semuanya itu bisa dinikmati dengan gratis.

Pentas JURANG di Taman Budaya Jogja

Pentas JURANG di Taman Budaya Jogja

Kali ini Gati Andoko, sutradara Teater Gadjah Mada, akan mengangkat sebuah pementasan yang berbeda nuansanya di Taman Budaya, 20 Mei 2015. Sebuah pementasan yang artisnya semua wanita. Pentas ini pasti akan mengulang kesuksesan teater WeEn sebelumnya, yaitu Kolase 7 Jendela maupun Monolog Wanita dalam bahasa Jawa “TAYU“. Salah satu unggulan dari pementasan yang akan datang adalah munculnya salah satu judul cerita dalam buku “Ibu, doa yang hilang” karya Bagas D Bawono.

Selamat menunggu datangnya tanggal 20 Mei di Taman Budaya Jogja, sebuah pementasan apik dari Teater WeEn dengan GRATIS !:-)

"TAYU" pentas Monolog Jawa dari Yeni Eshape

“TAYU” pentas Monolog Jawa dari Yeni Eshape, Teater WeEn

3 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.