Ingkung Pajangan Bantul

Gowes pagi ini temanya kuliner dengan tujuan utama ayam Ingkung Pajangan Bantul. Titik kumpul disepakati di Resto Paradise jalan Wates jam 5:30 wib dan alhasil hanya seorang yang datang on time, Dirut PT WTR yang hanya memakai sandal Carvil dengan sepeda balapnya. Ketika kuupload gambarnya di WA, beberapa teman langsung protes karena sepedaan memakai RB (road bike) sedang aku hanya pakai seli, seperti temanku yang kemudian ikut gabung.
Memang beberapa temanku baru demam seli (sepeda lipat) karena ada event komunitas folding bike di Jogja. Mereka berbondong-bondong membeli seli untuk merasakan aura berseli ria di keramaian rute Jogja atau Jakarta. Acara Rabu rutin yang biasanya dilakukan di Jakarta, kali ini mengambil tempat di Jogja dan ada satu tanjakan “pembaptisan” ala FO (flyover) Casablanca. Di Jogja tanjakan pembaptisan yang model “jebakan batman” namanya tanjakan “METES”. Sebuah tanjakan yang cukup panjang dan seolah-olah tidak mengenal habis.
Banyak pesepeda Jogja yang sudah melewati tanjakan ini dan merasa biasa-biasa saja, tapi bagi yang baru sekali ini merasakan, biasanya akan kaget dengan model tanjakannya. Sama dengan FO Casablanca di Jakarta yang akan mengagetkan goweser pemula dan membuat napas jadi memburu sesaat.
“Mas Eko kirim lokasi saja via WA nanti kususul”, kata temanku yang tidak bisa datang “on time” di Resto Paradise.
Akupun mengirim lokasi via WA dan menunggu mereka di tugu “METES” akhir dari pendakian yang “gembroyos”. Kawanku langsung melahap apa saja yang ada di warung “METES” karena tenaganya sudah dihabiskan di tanjakan, padahal pada pagi hari belum banyak hidangan yang disediakan. Untunglah masih ada dua orang yang kutunggu di warung, sehingga ketika mereka datang bersamaan dengan datangnya beberapa jenis makanan yang cocok untuk mengganti tenaga selama menanjak.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju arah desa ayam ingkung “PAJANGAN”. Sekarang jalanan yang ditempuh dominan dengan turunan panjang dan cukup menghemat kayuhan. Jalanan kondisinya sangat sepi dan hampir semuanya sangat mulus, sehingga sangat cocok untuk dilahap sepeda RB.
Aku mencoba jalan pintas dan masuk ke rute jalan desa yang tidak mulus lagi melewati makam sewu. Perjalanan dilanjutkan ke arah warung ayam ingkung pajangan Bantul yang sudah tinggal beberapa ratus meter lagi dan kondisi jalan kembali mulus. Aku kenalkan teman-temanku pada beberapa warung ayam ingkung pajangan Bantul dan kemudian mempersilahkan temanku memilih warung yang paling cocok.
Pilihan rupanya jatuh pada warung nDeso yang merupakan warung ayam ingkung pajangan Bantul generasi pertama. Kebetulan aku memang paling sering mengajak tamuku ke warung ini. Sampai saat ini semua tamu yang kuajak ke warung ini memang merasa puas dengan sajian ayam ingkungnya maupun pelayanannya yang ramah ala Bantul Jogja. Yang perlu diperhatikan kalau pingin ke warung ini lagi adalah karakter warung ini.
Warung ini kalau jam makan ditanggung penuh sesak, karena memang lokasinya yang tidak seluas warung ingkung mbah Cempluk di dekatnya. Biasanya teman-temanku suka menelpon dulu kalau mau kesini, sehingga yakin mendapat tempat dan mendapat menu makanan yang lengkap. Resep ingkung warung nDeso memang terasa lain di lidah dan di kantong, ditanggung “maknyus” sampai masih terasa meskipun sudah kembali ke rumah.
Suasana Jogja hari memang teduh banget, sehingga perjalanan yang cukup jauh ini tidak terasa menyiksa. Malioboro memang tetap dengan macetnya, tetapi untuk pengendara sepeda tidak akan terlalu berpengaruh. Masih bisa menyelip dalam keramaian Malioboro.
Ping-balik: Alun-alun kidul | Blogger Goweser Jogja