Sedekah Jumat Barokah

Beberapa hari lalu aku melihat berita di sosmed tentang Sedekah Jumat Barokah yang diadakan oleh Angkringan Wekji, ternyata acara tersebut sudah beberapa kali diadakan dengan sukses, persis seperti yang diadakan oleh alumni Remais di Perumnas Condongcatur Sleman beberapa minggu yang lalu. Bisa dibayangkan kalau kegiatan semacam ini diadakan oleh banyak kelompok, maupun perorangan di Yogyakarta, kemudian makin berkembang membesar menjadi terjadi di seluruh Indonesia, pasti dampaknya akan segera terasa.
Memang kegiatan Sedekah Jumat Barokah, sebenarnya sudah ada dan diadakan oleh banyak komunitas di beberapa kota sejak jaman dahulu, tetapi menjadi makin terasa maknanya ketika diadakan di masa pandemi ini. Di saat kebutuhan bahan pokok makin mendesak dan makin sulit didapat, maka kegiatan seperti ini benar-benar menjawab keinginan sebagian masyrakat menengah ke bawah, apalagi bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Bagi kaum dhuafa, bagi mereka yang pada hari Jumat itu sedang kelaparan, tukang becak, tukang ojek dan banyak lagi yang terlihat memanfaatkan moment kegiatan Sedekah Jumat Barokah, antara lain terlihat di kampung di tengah kota, seperti Kemetiran Kidul, aku juga sempat melihat terjadi di pinggiran kota Yogya.

Aku tidak tahu pasti siapa pencetus ide kegiatan ini di awal menjamurnya kegiatan Sedekah Jumat Barokah, tapi yang jelas mereka pasti berawal dari pembicaraan dari orang orang yang ingin hidupnya lebih bermakna bagi lingkungannya. Seperti kita tahu bahwa orang yang paling baik adalah orang yang paling berguna/bermanfaat bagi lingungannya dan kegiatan ini jelas sangat bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya, meskipun mungkin hanya sebungkus nasi plus lauk sederhana saja. Bahkan andai orang mati diberi kesempatan untuk hidup lagi, dia akan memakai hidupnya untuk bersedekah.

Bisa dibayangkan saat makin banyak orang yang berminat untuk mendukung kegiatan ini dan yang diberi manfaat sudah tidak ada, akan kemana lagi kita bersedekah. Bukan tidak mungkin saat kondisi seperti itu terjadi malah akan terjadi kekacauan di dunia, orang berebut untuk berbagi sedekah tapi tidak ada yang akan menerima sedekah, mungkin saat itulah terjadi kiamat beneran.
Lalu, apakah niat bersedekah ini lebih baik kita rem, tidak kita kembangkan lagi ?
Tentu itu sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab, kita pasti bisa bertanya pada hati nurani kita sendiri, apakah yang terbaik kita lakukan saat ini. Apa yang menjadi jawaban dari lubuk hati kita bisa dipastikan adalah jawaban terbenar saat ini, tetapi bagi sebagian orang mungkin masih belum muncul jawaban yang diharapkan, kadang masih saja ada pikiran kotor yang membuat hari kita tidak bisa mejawab dengan jernih.
Memang perlu suatu kondisi yang membuat hati kita bisa menjawab apa yang kita tanyakan agar keluar jawaban yang benar. Beberapa orang dapat dengan mudah mengeluarkan kata hatinya, tapi beberapa orang perlu suatu usaha yang lebih keras untuk bisa mengeluarkan suara hatinya, sementara itu ada sebagian orang yang lain lagi kasusnya. Hati merreka sudah tertutup oleh sesuatu yang gelap dan sudah mati, tidak bisa lagi mengeluarkan kata hati yang benar, itulah hati yang sudah mati.
“Tidak ada orang yang miskin karena terkalu banyak bersedekah”, justru kisah tentang orang yang sedekah makin kaya yang sering kita dengar, apalagi di kota #jogja, kisah hikmah seperti ini banyak terjadi dan terlihat dengan jelas dalam dunia nyata. Ustad Fatih Karim pernah menceritakan dalam salah satu seri keajaiban sedekah bersama kelompok alumni Remais Masjid Muhajirin PCC beberapa waktu lalu.
Perumpamaan orang yang mengeluarkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir yang pada tiap bulirnya berisi 100 biji, begitulah yang kita baca dari kita Allah.
“….Dan Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa saja yang dikehendaki. Dan Allah Mahahalus karunia-nya lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah 261).
