Ponari Jaman Dulu
Batu itu dicelupkan dalam hitungan detik ke dalam tempat air dan kemudian air itupun sudah berubah menjadi air ajaib yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Luar biasa. Ini adalah suatu fenomena yang membuat orang rela antri berdesak-desakan demi mendapat klhasiat sang batu itu.
Tentu Menag RI, MUI Jatim maupun para Kiai di Jombang menjadi gerah.
”Ini akan merusak aqidah umat”, begitu kira-kira yang ada dalam benak mereka.
Kalau menristek yang terkenal alim diminta mengomentari masalah ini, mungkin beliau akan sama gerahnya dengan Menag.
Pertanyaannya, mengapa sih aqidah umat bisa begitu gampang terpeleset oleh suatu hal yang sebenarnya tidak masuk di akal itu?
Aku jadi ingat peristiwa sejenis di tahun 70an dulu. Saat itu jaman judi buntut dan seorang anak kecil di kampungku, tiba-tiba kalau ngomong angka selalu cocok dengan nomor yang keluar di judi buntut itu.
Bisa diduga, bahwa berita dari mulut ke mulut ini menjadi bergema begitu kencang dan membahana.
Dalam hitungan hari, berita itu sudah menyebar ke sebagian besar penggemar judi buntut dan malam hari menjelang penutupan penjualan nomer, warga masyarakat ramai memenuhi kampungku.
Kampungpun jadi riuh rendah oleh tamu yang tidak diundang. Tentu warga jadi terganggu. Mereka menganggap penyebutan nomer itu hanya kebetulan belaka, sehingga merasa terganggu ketika mereka jadi tidak bisa berlalu lalang dengan leluasa di kampung mereka sendiri.
Bapakku yang saat itu menjadi sekretaris RK terpaksa melibatkan diri untuk mengatur para tamu tidak diundang itu. Mulailah dipasang blokade di setiap gang menuju rumah sang dukun cilik itu.
Repotnya, sang dukun cilik ini kadang sudah menjelang saatnya tidak juga mengeluarkan angka, sehingga para tamu makin emosi untuk melihat dari dekat rumah sang dukun. Blokade itupun lama-lama jadi rapuh juga.
Bagaimana tidak, ternyata para petugas yang seharusnya ikut menjaga lalu lintas tamu, ternyata ikut memasang nomor judi buntut itu, sehingga suasana benar-benar kacau. Sudah tidak lagi jelas antara petugas yang mau mengatur dan petugas yang ternyata ikut mencari nomor. Dengan menjadi petugas, mereka bisa leluasa mendekati rumah sang dukun.
Tentu bapakku menjadi pusing mikirin hal ini. Belum lagi para tetangga yang tadinya tidak percaya, karena mereka mengenal dengan baik kelakuan si bocah sehari-hari, ternyata ikut tertarik juga untuk masang angka judi buntut.
Masalah selesai ketika sang bocah ”diculik” dan kemudian dikembalikan dalam kondisi sudah tidak mau bicara tentang angka lagi. Aku tidak tahu apakah penculikan itu adalah skenario yang dibuat oleh pengurus RK atau memang diculik oleh bos judi buntut yang langsung rugi setiap hari gara-gara ketepatan tebakan angka si bocah.
Rupanya iman ini memang murah bagi mereka yang sedang putus asa. Mungkin benar kata orang bijak, bahwa kemiskinan kadang mendekatkan diri kita pada kekafiran.
Mereka lupa bahwa apapun yang menimpa kita, itulah yang terbaik yang direncanakan Tuhan untuk kita. Kalau kita tidak puas atau berdasar hitungan kita, rasanya kita tidak layak menerima cobaan itu, maka sebenarnya itulah saatnya kita sedang menjalani ujian kesabaran.
Mari kita jadikan sabar sebagai penolong kita. Seperti kata pak Dokter di acara kopdar pertama Kompasiana,”Saya kehilangan banyak barang berharga, tapi saya ikhlas, karena itu mungkin suatu petunjuk bagi saya agar lebih ikhlas dan lebih banyak beramal”
”Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan?”

Komentar oleh Ramon on Februari 23, 2009 6:13 pm
Lay, jaman sekarang memang berobat mahal, jadi jangan sampai sakit ya…!
He..he..he.. semoga mbah Uti dapat menerima nikmat sakitnya, sehingga dosanya akan banyak yang berjatuhan
insya ALlah
amin
Jagain mbah Uti baik-baik ya
aku percaya kamu anak yang baik dan bertanggung jawab terhadap keluarga
semoga tercapai cita-citamu Lay
amin
Salam
SukaSuka
ini kampungnya kampung aku juga bukan?
nggak dulu, nggak sekrang ato besok yg pasti akan terus ada yg namanya dukun semacam ponari. ironis memang, tp ya itulah peliknya kehidupan…
pemerintah harus semakin peduli pada fenomena kemiskinan, sehingga nggak terjadi peristiwa semacam ini lagi. juga semakin ditingkatkannya pengetahuan agama dan iptek, agar nggak terpuruk
SukaSuka
Ha..ha..ha. Mas Iskandar ini aya-aya wae deh..
Tapi emang bener sih, masyarakat kita masih suka yang instan dan nggak banyak berbuat atau berusaha.
BTW kalau mau ketemu mas Aris beneran dia ada disini mas
http://arishu.blogspot.com/
Salam
SukaSuka
Mas Aris, saya juga termasuk orang yang risih dengan budaya mistisisme seperti ini. Orang lain mati2an membuat nuklir dan satelit, eh kita malah mundur ke zaman batu. maksudnya zaman batu ponari.
Yah, moga2 aja yang kaya gini nggak selamanya nyangkut di generasi berikutnya. (Tapi mungkin gak ya? kan Ponari itu bagian dari generasi berikutnya??) Walah!
SukaSuka
Mas Alam
Kulihat mas Alam kewalahan dengan banyaknya penulis tamu ya?
Aku libur dulu nulis di mas Alam deh.
Sebagai orang tua kan harus tahu diri, jangan sampai mengurangi semangat yang muda untuk lebih baik dari pendahuklunya.
Salam kompak selalu.
SukaSuka
@Dhiaz
Salam ganteng juga mas Dhiaz [yang lebih ganteng dari aku]
He…he…he… dulu belum ada internet dan tivi juga masih jarang yang punya, coba kalau ada wuihhh mungkin lebih rame dibanding Ponari sekarang
SukaSuka
Subhanallah….. hm… mari perangi kemiskinan mas Eshape.. Di mulai dengan lebih banyak beramal. heuheuehue…… (padahal yg nyaranin jarang bgt beramal)
SukaSuka
There is a critical shortage of invfrmatioe articles like this.
SukaSuka
lho? ada juga ponari jaman dulu… jadi berita hangat gak??
salam kenal… maen balik juga boleh…
salam ganteng
SukaSuka