Sate Ayam


Malam-malam iseng beli sate ayam yang lewat di depan rumah. Ternyata dua panggilan langsung bersahutan begitu aku mulai memanggil abang Tukang Sate.

Karena abang Tukang Sate menganggap suaraku yang lebih dulu didengar, maka dia menuju depan rumahku dan mulai membakar satenya.

“Sepuluh tusuk dan satu lontong aja”, kataku

Dengan penuh kesunyian, abang Tukang sate mulai mempersiapkan sate dan arang untuk memenuhi permintaanku.

Kembali aku iseng nanya-nanya rumahnya, nanya jam kerjanya dll, sekedar pelepas kesunyian saja. Di dalam rumah, Lilo asyik nonton Herbie Full Loaded dan gak mau diganggu gugat lagi.

“Ini gerobak dorong punya siapa Bang?”, kataku

“……”,

Tak ada jawaban, entah karena suaraku terlalu pelan atau memang abang Tukang satenya gak mau njawab, aku tak tahu, jadi kutanya lagi dengan pertanyaan lain.

“Ini digaji bulanan atau berdasar sate yang terjual”

“Gaji bulanan pak”

“Berapa?”

“Enam ratus ribu”

“Kalau satenya habis dapet bonus enggak?”

“Enggak”

“Seringnya laku sampai berapa tusuk?”

“Sisa sekitar 20 sampai 30 tusuk dari 300 tusuk, atau penjualan sebesar 250 ribu sampai 300 ribu per hari”

“Kalau hujan?”

“Gak laku mas…”

“Tapi tetap dibayar enam ratus ribu ya?”

“Iya…”

“Enak donk, gak laku juga gak papa. Nyantai jadinya ya?”

“Enggak juga. Gak enak sama juragan kalau sampai banyak yang gak laku…”

“Oooo…gitu ya..?”

“Iya mas…”

“Kerja 4 jam dan digaji enam ratus ribu, khusus malam hari, berarti kalau siang bisa kerja yang lain donk…”

“Pagi kadang bantu-bantu, tapi siang hari capek dan tidur…”

Belum sempat nanya panjang lebar, satenya sudah matang, jadi selesailah pembicaraan malam itu. Padahal mau nanya, apakah punya mimpi untuk mempunyai gerobak dorong sendiri dan mendapat untung dari sate yang terjual bukan dari gaji bulanan…

Lain kali sajalah

8 komentar

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.