Kisah Hikmah : Kecewa Berat


“Terus terang aku kecewa berat dengan sistem pembagian bonus kali ini”

“Memang kenapa? Bukannya kita harus bersyukur dengan adanya pembagian bonus ini?”

“Mengapa harus bersyukur kalau kita didholimi seperti ini?”

“Astaghfirullah, darimana ketemu cerita seperti itu?”

“Lihat saja apa yang sudah kita kerjakan untuk pabrik ini. Semua berjalan lebih hebat dari yang direncanakan. Semua target terlampaui dan permintaan pasar terus meningkat. Coba apa artinya semua kesuksesan kita itu?”

“Artinya ya kita hari ini dapat bonus yang tidak kusangka-sangka”

“Kamu puas Din?”

“Iya jelas mas. Hari-hari ini benar-benar hidupku berlimpah bonus. Semua datang dari berbagai penjuru dan semuanya tidak pernah kusangka-sangka datang di hari-hari belakangan ini. Sungguh aku malu dengan diriku yang sering kurang mensyukuri nikmat Tuhan”

“Din, kamu tidak lihat betapa kita dikerjai oleh bos kita?”

“Dikerjai apanya mas? Dapat bonus kok dibilang dikerjain”

“Ah..kamu susah diajak ngomong Din. Berapa milyard keuntungan yang bisa didapatkan pabrik ini dan berapa yang kita terima? Bukankah itu sangat tidak imbang?”

“Ah..menurutku imbang kok. Dua kali gaji sudah lebih dari cukup mas, belum lagi rejeki dari warung nasiku yang tiba-tiba kelarisan tanpa sebab yang jelas. Anak-anakku yang mendapat bea siswa di sekolah, istriku yang mendapat arisan dan bingkisan dari Koh Bing gara-gara aku menolong proses persalinan istrinya. Semuanya itu terlalu banyak buatku dan alhamdulillah aku telah mensucikan semua itu dengan zakat yang kulebihkan sedikit”

“Dasar kamu Din, susah diajak ngomong…”

Udin masih tertawa-tawa ketika Samidi meninggalkannya. Rasanya hari ini Udin merasa masih akan menerima rejeki lagi yang lebih hebat dibanding rejeki yang dia terima akhir-akhir ini. Seharian ini dia aktif sholat sunah dan tadarus sampai mulutnya berbusa.

doa

“Assalamu’alaikum Din..”

“Wa’alaikum salam pak Dhe. Dicari Samidi tadi pak Dhe”

“Hahahaha…pasti masalah ketidak puasan akan bonus yang diterima”

“Benar pak Dhe. Dia tampak gusar dan kecewa berat dengan bonus yang diterimanya. Padahal sebagai seorang pejabat keuangan di pabrik ini pastinya dia menerima lebih besar dari kita. Iya kan Pak Dhe?”

“Benar. Pak Samidi pasti menerima dua atau tiga kali lipat dibanding kita”.

“Nah, kalau kita merasa sudah berlebih menerimanya, maka mestinya pak Samidi lebih bersyukur dibanding kita. Iya kan Pak Dhe? Tapi kok kulihat pak Samidi malah kecewa ya?”

“Memang aneh kalau dipikir Din. Rejeki sebesar ini lebih baik memang kita syukuri, langsung kita bersihkan dengan zakat. Kita harus berterima kasih pada para panitia zakat yang mau membantu menyakurkan rejeki kita”

“Kalau sehabis menerima rejeki terus kita jadi rajin beribadah, apa diperbolehkan?”

“Yah sebaiknya memang meningkatkan ibadah, tapi jangan sampai terjerumus dalam kesenangan dunia. Ibadah jadi tidak khusyuk karena mengharapkan rejeki materi dan bukan mengharapkan kasih Tuhan”

“………………….”

“Jangan sampai mulut kita berbuih membaca Kitab Allah, tapi pikirannya ke rejeki materi dan bukan ke arti kalam Illahi yang kita baca”

“Astaghfirullah…”, dalam hati Udin merasa ditelanjangi oleh Pak Dhe. Semua ucapan pak Dhe sanagt cocok dengan kondisi dirinya saat ini. Bukankah dia jadi rajin membaca kitab Allah karen amengharap  rejeki materi dan bukan karena ingin mendekatkan diri pada Tuhan.

“Aku pernah cerita tentang menanam padi hasilny apadi dan rumput kan?”

“Iya pak Dhe. Menanam rumput hasilnya rumput saja dan tidak ada padi yang bisa kita panen.”

“Itulah Din. Kadang kita mementingkan materi tapi berharap akhirat”

Udin termenung meresapi dialognya dengan pak Dhe. Untung ada pak Dhe yang mengingatkan dia secara tidak langsung. Padahal semua yang dikatakan pak Dhe, Udin sudah paham benar, tapi karena situasinya cocok, maka ucapan pak Dhe membuat Udin kembali terpekur. Dipegangnya tangan pak Dhe erat-erat, tapi tak ada kata yangkeluar dari mulutnya.

Belum sempat Udin menyampaikan ucapannya, ponselnya berbunyi dan dilihatnya nama pemanggil di layar ponselnya.

“Dari pak Samidi pak Dhe”, kata Udin sambil menekan tombol hijau di ponselnya.

“Salam lekum pak Samidi. Ada apa?”

“……………………”

“Gak ada ponsel ketinggalan disini pak”, berkerut dahi Udin ketika menjawab telepon dahi Udin. Sesekali terlihat udin menghela nafas, di lain saat terlihat Udin seperti ingin marah, tapi pada akhir pembicaraan telepon, terlihat Udin malah tersenyum meski agak kecut.

“Lalu nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan?”, ucap Udin begitu selesai bertelpon dengan Pak Samidi.

Kembali Udin menggenggam erat tangan Pak Dhe, sambil berkata, “benar kata pak Dhe. Aku kurang bersyukur dan demikian juga pak Samidi. Baru saja dia telepon kalau ponsel barunya hilang, padahal itu adalah ponsel termahal saat ini dan dibelinya dengan uang bonus yang tidak disyukurinya”

“Maha benar Allah dalam segala firmanNya”, lirih pak Dhe berucap sambil membalas jabat erat Udin.

“Pak Dhe aku jadi ingat nasehat pak Anton”

“Apa itu?”

“Jangan pernah kecewa dengan sebuah pemberian Allah karena kita tidak pernah tahu mana yang paling baik bagi kita. Yang kita anggap baik belum tentu baik untuk kita, jadi jangan pernah kecewa, apalagi sampai Kecewa berat !”

“Hahahaha……”, berdua mereka menuju mushola. Suara adzan memanggil mereka untuk berdiskusi dengan Tuhan mereka.

masjid+++

Gambar dimodifikasi dari Clipart Microsoft

2 komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.