Sepeda Brompton

Beberapa kali naik sepeda brompton, aku dianggap tidak cocok, sehingga akhirnya sepeda brompton merahku harus dijual, untuk buang sial kata orang, padahal sebenarnya memang hanya pingin dijual saja. Dijual untuk teman yang sudah usia beberapa tahun di atasku, goweser senior sekaligus yunior kata orang, dipanggil begitu karena beliau umurnya sudah jauh di atas setengah abad dan kalau gowes bareng kita, selalu paling belakang dan memang beliau cara gowesnya selalu gaya pelan, mau dikayuh sekuat tenaga juga akan tetap pelan hasilnya.
Tetapi pada kenyataannya, teman seniorku itu terlihat sangat menikmati sepeda brompton yang dipakainya, ikut bergabung dengan para goweser yang sudah malang melintang ghowes di berbagai kota dan medan, ikut berfoto dan mengambil foto (biasanya secara candid), dengan sangat santai dan tampak menikmati semua moment-moment gowesnya. Semua dilakukan dengan ceria dan dengan senyum yang selalu dibibirnya, intinya sangat menghayati perannya, meskipun bukan peran utama hanya peran pendamping, tapi totalitas dalam bersepedaya patut diacungi jempol dan terlihat sangat membahagiakan hidupnya.
Saatnya kita kini memang saat untuk berbagi kebahagiaan pada orang lain, sudah bosen rasanya mencari kesenangan untuk diri sendiri, karena sering justru bukan kesenangan yang didapat tapi adalah penderitaan yang didapat. Beda rasanya kalau kita berbagi kebahagiaan saat gowes ceria, bersama-sama saling mendukung untuk menyenangkan teman gpwes, baik saat menanjak maupun saat sepedanya bermasalah, justru lebih menyenangkan hati. Rasanya hati jadi terasa luas dan senyum tanpa terasa tersungging di bibir kita ketika kita berhasil membuat orang lain tersenyum, berhasil membuat goweser lain dimudahkan dalam acara gowesnya, ternyata membuat kita juga jadi mudah untuk tersenyum.

Tersenyum ikhlas itu sangat sulit kita dapat, tetapi saat kita membantu orang lain tersenyum, ternyata senyum itu justru membuat kita sendiri tersenyum ikhlas, lepas dan terasa sampai lubuk hati yang paling tersembunyi. Kembali rumus lamaku muncul berkelebat di depan mataku.”membuat orang lain menjadi senang itu memang membahagiakan”. Kesenangan itu sifatnya lebih temporer, sebentar kemudian bisa jadi berubah menjadi tidak senang, tyapi bahagia itu lebih lama ada dalam diri kita dibanding kesenangan. Saat kita membuat orang lain menjadi senang, maka muncul rasa bahagia di diri kita, sementara orang yang kita buat menjadi senang sudah luntur kesenangannya, pada saa itu juga kebagiaan kita masih setia menemani hati kita.

Aku senang ketika mendapat hadiah sepeda bromton, tetapi kesenangan mempunyai sepeda itu tidak berlangsung sangat lama, bahkan mungkin hanya sebentar, bahkan aku lebih sering terkena masalah dengan adanya sepeda brompton merah itu, tetapi ketika dipakai olah seniorku dan dia terlihat senang memakai sepedaku, ada rasa bahagia yang sangat awet dalam hatiku, bahkan setelah beberapa saat tidak bertemu dengan seniorku itu dan kemudian bertemu kembali, rasa bahagia itu kembali muncul dalam diriku dengan kadar yang masih cukup bersar.

Teori tentang senang dan bahagia ini mungkin berbeda untuk masing-masing orang, tapi sudah terbukti pada diriku sendiri. Aku senang ketika mendapat hadiah sepeda brompton, tapi ternyata aku lebih senang ketika sepeda itu menjadi milik seniorku dan kesenangan yang kudapat lebih awet dibanding kesengan menerima hadiah sepeda. Benarkah begitu yang terjadi pada semua orang, aku tidak berani berteori, aku hanya bisa berasumsi saja. Nikmati semua ini dengan senyum saja, apapun sepeda yang dipakai tidak perlu kita perhatikan, bagaimana kita bisa konsisten bersepeda lebih dari mikir tentang sepedanya, itu yang perlu kita pikirkan 🙂
